Teknologi blockchain memang dikenal bermanfaat dalam menyimpan transaksi keuangan. Namun kini, blockchain nyatanya bisa berguna bagi sektor kesehatan.
Dilansir dari laman theconversation, Tenaga Pengajar Departemen Parasitologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Meiliyana Wijaya menjelaskan blockchain bisa dimanfaatkan di bidang kesehatan sebagai penyimpanan data medis. Ini lantaran teknologi tersebut mempunyai tingkat keamanan dan efisiensi yang tinggi.
Meski teknologi ini butuh biaya investasi awal yang besar untuk membangun dan memelihara infrastruktur server komputer dan jaringan internet yang memadai, nyatanya sektor kesehatan Amerika Serikat (AS) ini dilaporkan mampu menghemat sebesar US$ 19,3 juta lantaran penggunaan blockchain yang meningkatkan kerja sama dan integrasi data. Sehingga, dengan segala keunggulan teknologi ini, sektor kesehatan Indonesia perlu menggunakan teknologi blockchain.
Berikut manfaat penggunaan teknologi blockchain di bidang kesehatan.
1. Pendidikan Tinggi Kedokteran
Penggunaan blockchain bermanfaat sebagai pencatat seperti prestasi mahasiswa saat studi di sekolah kedokteran. Teknologi ini bisa menyimpan dan melacak prestasi mahasiswa mulai dari sarjana sampai profesi bahkan spesialisnya. Sebab, pendidikan kedokteran merupakan proses pembelajaran seumur hidup, sehingga catatan di buku besar digital ini bisa terus berkembang.
Selain itu teknologi ini bisa digunakan untuk menyimpan arsip setiap mengikuti seminar dan workshop, artikel yang ditulis, tingkat keberhasilan merawat pasien atau prosedur yang pernah dilakukan. Sehingga, proses sertifikasi, pengeluaran ijazah, kredensial menjadi lebih mudah, hemat biaya, dan tidak bisa dipalsukan serta dirusak.
Kini terdapat platform penyedia sistem kredensial digital berbasis blockchain, seperti Accredible, BlockCo, Vottun’s Blockeducate, BCDiploma, dan lainnya.
2. Rekam Medis Elektronik
Kini, catatan rekam medis pasien disimpan secara aman di tempat-tempat terpisah seperti fasilitas pelayanan kesehatan berbagai tingkat (klinik, puskesmas, dan rumah sakit) dan penyedia asuransi kesehatan. Nantinya, setiap kali pasien berobat ke satu layanan fasilitas kesehatan, data keseluruhan mengenai riwayat tersebut hanya tersimpan di satu tempat.
Pertukaran data rekam medis antar tenaga kesehatan, klinik, rumah sakit, lembaga penelitian (contoh uji klinik), dan asuransi kesehatan menjadi kunci utama guna mendapatkan data pasien yang komprehensif dan sistem proses klaim medis yang transparan.
Dengan adanya blockchain dan protokol yang disepakati, sistem tersebut nantinya mengatur siapa saja yang bisa mengakses informasi medis pasien, namun privasinya tetap terjaga.
3. Rantai Distribusi Obat dan Alat Kesehatan
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 2019 menyepakati proyek percontohan berbasis jaringan blockchain MediLedger. Jaringan tersebut terdiri dari 24 perusahaan farmasi besar untuk beroperasi dalam rantai pasokan farmasi.
Selain itu, perusahaan teknologi IBM juga merilis jaringan blockchain bernama IBM Rapid Supplier Connect. Jaringan ini berguna untuk membantu lembaga pemerintah dan organisasi layanan kesehatan dalam mengidentifikasi pemasok baru dan non-tradisional dalam mengatasi kekurangan pasokan peralatan medis atau ketersediaan obat Covid-19 di Amerika Serikat dan Kanada.
4. Kesehatan Masyarakat
Teknologi blockchain juga bisa dimanfaatkan untuk mencatat penyakit seperti Covid-19 yang menjadi pandemi sekarang ini. Kini, WHO bekerja sama dengan perusahaan teknologi Hacera, IBM, Oracle, serta Microsoft menciptakan platform berbagi data MiPasa sebagai alat pencatat kasus Covid-19.
Platform tersebut bisa memberikan berbagai informasi antara individu, otoritas negara, dan lembaga kesehatan, sehingga bisa membantu pemantauan dan meramalkan tren epidemiologis lokal dan global. Namun, privasi bisa tetap terjaga lantaran menggunakan sistem silo (hanya departemen tertentu yang bisa mengakses informasi).
Tantangan Penggunaan Blockchain
Meski blockchain memberikan banyak manfaat di berbagai sektor termasuk kesehatan, nyatanya teknologi tersebut memiliki rintangan yang harus dibenahi sebelum mencapai tahap adopsi massal. Di Indonesia salah satu tantangannya ialah kurangnya pelaku yang berkecimpung dalam dunia teknologi tersebut.
Saat ini di Indonesia keterlibatan universitas atau lembaga riset guna meneliti blockchain masih kurang. Sehingga, ini berdampak dengan kurangnya pasokan tenaga kerja terampil dalam mengisi kebutuhan perusahaan blockchain.
Kurangnya industri pendukung blockchain, seperti industri elektronika dan telekomunikasi yang belum optimal juga menjadi salah satu tantangan pengembangan blockchain. Selain itu, dari segi regulasi dan pengawasan pemerintah hingga kini juga belum ada panduan mekanisme audit teknologi tersebut.
Dengan keunggulan yang dimiliki, ekosistem blockchain di berbagai sektor termasuk kesehatan perlu digencarkan lagi agar masyarakat Indonesia bisa menikmati manfaat dari teknologi tersebut dalam kesehariannya. Sehingga diperlukan adanya kolaborasi riset antar fakultas di universitas, misalnya bidang kesehatan dan kedokteran, serta teknologi informasi guna membuat proyek percontohan aplikasi blockchain.
Jika berhasil, nantinya teknologi ini bisa dikembangkan dengan melibatkan fasilitas kesehatan dan industri di bidang kesehatan. Selain itu, pemerintah juga harus mengesahkan rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sebagai pedoman untuk mengatur data pribadi termasuk rekam medis pasien dalam bentuk digital.